Membangun Citra Politik di Era Cyber
IKLAN politik mengalami pertumbuhan pesat pasca reformasi 1998. Berbagai partai politik (parpol) saling berlomba untuk mengiklankan diri dalam pemilu pertama pasca jatuhnya Orde Baru di tahun 1999. Tidak seperti di masa sebelumnya, parpol lebih memiliki kesadaran berkomunikasi dengan menggunakan biro iklan sebagai konsultan iklannya, seperti yang dilakukan oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang mempercayai Matari sebagai konsultannya, serta Partai Amanat Nasional (PAN) yang menggunakan Fortune untuk menggarap iklannya.
Fenomena ini kemudian semakin massif di tahun 2004 dan 2009. Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai suara terbanyak menjadikan persaingan antar calon anggota legislatif (caleg) bukan hanya dengan caleg dari partai yang berbeda, namun juga dengan partai yang sama. Sayangnya keputuasan MK yang berhimpitan dengan masa kampanye membuat para caleg kelihatan menjadi panik, setidaknya hal ini terlihat dari iklan mereka yang dibuat secara tidak terkonsep.
Yang fatal lagi, periklanan seolah dipandang sebagai satu-satunya media untuk mengkomunikasikan ide dalam melakukan komunikasai politik. Metode komunikasai politik yang lain yaitu kehumasan (public relations), padahal menurut Brian McNair dalam bukunya “Introduction to Political Communication”, metode komunikasi politik melalui periklanan memiliki kelemahan, yaitu ‘propaganda’, ‘bias’, dan parsial. Dalam iklan, pesannya dianggap politis, merefleksikan kepentingan, ide dan nilai pemasangnya. Muncul pandangan bahwa bentuk komunikasi yang lain mungkin lebih efektif dalam tranmisi pesan. McNair mengemukakan bahwa free media menjadi pilihan, dimana kita merujuk pada space dimana aktor politik dapat memperoleh ekspos tanpa harus membayar.
Keuntungan dari free media adalah ekspos dari politisi dibangun atas awareness dari audiens yang kelihatan lebih ‘hidup’, sesuatu yang lebih bermakna daripada iklan politik yang direkayasa (manufactured). Sebuah contoh menarik adalah apa yang pernah dilakukan oleh mantan Perdana Menteri Inggris, Margaret Thatcher dengan menggunakan cara ini dengan tampil di acara musik Jimmy Young Radio Show di BBC di tahun 1980-an. Penampilan ngepop perempuan besi ini kemudian melambungkan namanya di kalangan pemilih pemula di Inggris dan serempak bukan hanya kalangan konservatif yang memilihnya, namun juga melebar pada pihak lain di luar kalangan konservatif.
Perilaku politik ini sebenarnya juga disadari oleh para aktor politik di Indonesia, terutama di masa Pemilihan Presiden tahun 2004, saat untuk kali pertama rakyat Indonesia memilih Presiden secara langsung. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) secara aktif melakukan kegiatan menjual citranya dengan secara telaten datang ke berbagai acara publik, terutama yang diekspos media, seperti kedatangannya di Akademi Fantasi Indonesia (AFI) yang ditayangkan oleh Indosiar dan saat itu merupakan tayangan reality show dengan rating tertinggi.
Bukan sekedar datang, SBY juga memakai pakaian yang kasual, dengan memakai jaket kulit sebuah penampilan yang mengesankan dirinya sebagai Presidennya anak muda. Pilihan yang ternyata tidak meleset, karena popularitas SBY meroket dengan tajam dan rakyatpun memilihnya menjadi presiden, dan mengalahkan Megawati Soekarnoputri, padahal Megawati saat itu didukung oleh Koalisi Kebangsaan yang memiliki kekuatan nyaris dua kali kekuatan Koalisi Kerakyatan yang mengusung SBY.
Dalam perkembangannya, McNair menyatakan bahwa humas politik menjadi ‘service industry’ yang memfasilitasi komunikasi politik diantara partai politik, kandidat dan publik, mendesain dan memproduksi publisitas dan propaganda, mencari dana, memberi nasehat dalam kebijakan dan presentasi dan poling opini publik, singkatnya bisa disebut sebagai ‘manajer panggung dan penulis kreatif dari teater politik yang hidup’. Apa yang dikemukakan oleh McNair ini kelihatan dalam pemilu legislatif yang baru lewat. Partai Demokrat dengan kebijakan populisnya mendapatkan pemberitaan yang cenderung positif, seperti pemberitaan tentang Bantuan Langsung Tunai (BLT), pembagian kompor gas dan yang paling populis adalah penurunan harga BBM.
Terlepas dari krisis ekonomi global, yang menyebabkan harga minyak mentah dunia turun secara drastis yang kemudian menyebabkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) terkoreksi, penurunan harga BBM menjadikan pemilih mengingat selalu keberhasilan pemerintahan SBY. Tidak aneh jika kemudian di masa kampanye, presiden, wakil presiden dan beberapa menteri saling klaim keberhasilan pemerintah, seperti yang dilakukan Menteri Pertanian, Anton Aprianto dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang mengklaim swasembada beras sebagai keberhasilannya.
Namun yang perlu digarisbawahi, free media memungkinkan adanya kesalahan (failure). Sebuah contoh menarik adalah saat debat Presiden Amerika Serikat tahun 1976, Gerald Ford salah ucap dengan menyebut Polandia sebagai bukan bagian dari blok Soviet.
Kesalahan tersebut menhancurkan citranya dengan tercitrakan media sebagai orang bodoh. Akhirnya Ford kalah dari kompetitornya Jimmy Carter, ini juga serupa yang dialami Megawati saat menyerang kebijakan BLT, karena bukannya simpati yang diterima Megawati namun justru kecaman bertubi-tubi.
Munculnya group di Facebook berlabel Katakan Tidak Untuk Megawati dengan keanggotaan yang konon paling pesat untuk sebuah group dari Indonesia menjadi pertanda dari kejatuhan citra Megawati akibat blunder yang dilakukannya sendiri. Opini publik ini kemudian membuat PDI Perjuangan banting stir dengan membuat iklan yang justru malah mendukung kebijakan BLT.
Ini seharusnya menjadi kaca benggala bagi para aktor politik untuk lebih memperhatikan perilaku politik mereka, karena perkembangan media cyber web 2.0 seperti facebook, menjadikan free media menjadi semakin susah dikendalikan oleh para aktor politik. Publik menjadi bebas untuk menyuarakan apapun melaui jejaring sosial, baik mendukung aktor politik tertentu atau justru malah menjatuhkan aktor politik yang bersangkutan.
Dalam humas politik di era media online sekarang ini, peran konsultan yang memberikan rekomendasi kebijakan di bidang kehumasan sekaligus juga melakukan riset agar kebijkan kehumasan sejalan dengan kebijakan politik dari partai politik dan caleg menjadi semakin signifikan. Kesimpangsiuran informasi dan ketidak samaan informasi akan membuat citra dari kandidat bersangkutan akan menurun.
Kehumasan yang dikesankan sebagai sesuatu yang dilakukan secara sadar akan membuat apa yang dicitrakan menjadi jauh lebih alamiah dibandingkan dengan aktifitas periklanan. Namun demikian keduanya bukan sesuatu yang saling bertolak belakang, justru keduanya saling melengkapi.
Dian Retno Isworo
153070352
Tidak ada komentar:
Posting Komentar