Jumat, 29 Mei 2009

OPINI

Negara demokrasi tampa pemimpin.

Setelah Komisi Pemilihan Umum menolak disalahkan pemerintah menolak bertanggung jawab, bahkan menuduh rakyat ikut andil dalam kekisruhan daftar pemilih tetap .Keadaan ini seakan menampilkan wajah sebuah negeri tanpa tuan. Jika semua penanggung jawab kebijakan publik cuci tangan, kita sedang dalam sistem negara demokrasi tanpa tuan?
Pemilu dalam kerangka negara demokratis merupakan ajang para pemimpin mendapat legitimasi atas kekuasaannya. Namun, ia bukan sekadar masalah jumlah suara. Legitimasinya terkait soal bagaimana jumlah suara itu diperoleh. Ia terkait nilai-nilai yang diperjuangkan.
Kekacauan daftar pemilih tetap mencederai salah satu nilai dasar yang ingin ditegakkan dalam demokrasi, yakni kedaulatan rakyat. Aturan pemilu legislatif yang lalu gagal memaksimalkan partisipasi warga untuk menggunakan hak politiknya terkait nilai-nilai dasar yang ingin dijamin dalam kehidupan publik pada masa mendatang. Pemerintah seharusnya penjamin proses itu.
Absennya penanggung jawab untuk menjamin kepentingan umum mengingatkan lemahnya usaha menghayati demokrasi. Hannah Beech memperlihatkan pengamatan yang mengesan praktik demokrasi di Asia. Menurut dia, banyak negara Asia berlomba mengadakan proses demokratisasi pemerintahan, mendukung nilai-nilai ideal demokrasi, tetapi belum meninggalkan mentalitas yang bertentangan dengan demokrasi.
Mentalitas itu misalnya tampak dalam kepercayaan naif rakyat terhadap moralitas pejabatnya dengan memberikan kuasa kepada mereka tanpa kontrol Indonesia tampaknya tidak luput dari bentuk demokrasi yang demikian.
Demokrasi yang sejati melibatkan aneka prosedur yang dilandasi nilai dan terarah pada kepentingan umum. Pengakuan akan hak politik (baca: hak memilih) tidak cukup hanya tertulis dalam UUD 1945. Hak demokratis itu mengandaikan adanya penanggung jawab yang menjamin pelaksanaannya. Karena itu, sebuah demokrasi sejati hanya mungkin terlaksana dalam sebuah negara di mana hukum berfungsi. Sebuah demokrasi tanpa nilai-nilai yang dijamin dalam negara hukum akan dengan mudah berubah menjadi totalitarisme terbuka, sebagaimana terjadi dalam sejarah (Yohanes Paulus II, Centesimus annus, 1991).
Kesan kurang tanggapnya para pemimpin untuk mengemban tanggung jawab publik sering disaksikan saat rakyat dilanda bencana. Dalam bencana, sering terjadi sikap saling melempar tanggung jawab antarpejabat dan antarinstansi pemerintahan berhadapan dengan urusan publik. Kejadian itu menampakkan betapa kurang disadarinya keberpihakan negara pada kepentingan umum sebagai nilai utama demokrasi.
Saat rakyat bertanya, untuk apa pemilu? Apa manfaatnya bagi rakyat? Di sana negara dan kehadirannya diragukan kegunaannya. Klaim kemenangan golput sekitar 30 persen dalam pemilu legislatif (Kompas, 14/4) menjadi tanda peringatan kaburnya peran negara bagi rakyatnya. Bila keadaan itu masih diperparah dengan arogansi dan cuci tangan pejabat dalam memikul tanggung jawab bagi kepentingan publik, kita dapat bertanya, masih perlukah negara? Bila masih perlu, kita prihatin, mengapa negara ini seakan berjalan tanpa


Minati arta
153070326

Tidak ada komentar:

Posting Komentar